|
sumber gambar : willitmatter.com |
Saat itu hari Rabu tanggal empat belas Juni tahun dua ribu tujuh belas.
Seperti hari-hari biasanya saat menjelang pembagian raport, hari itu saya disibukkan dengan entri nilai hasil belajar ketika tiba-tiba adikku yang berada di Jepara menelepon dan memberitahukan bahwa barusan Bapak sakit dan tidak bisa bicara. Saya benar-benar kaget dan panik karena hari-hari sebelumnya Bapak tidak pernah mengeluh ataupun menderita penyakit tertentu yang serius. Di samping itu saya juga bertanya-bertanya, mengapa bukan ibu yang menghubungi saya. Begitu seriuskah sakit yang diderita oleh Bapak sehingga ibu tidak sempat untuk menghubungiku langsung.
Segera saja saya meluncur ke rumah, dan bapak masih di tempat tidur dan hanya diam. Dengan pertolongan beberapa saudara dan tetangga akhirnya bapak bisa sampai di rumah sakit. Dan sesampainya di sana, saya pun menanyakan kepada dokter yang menangani tentang kondisi Bapak. Oleh dokter dijelaskan bahwa Bapak menderita gejala stroke dan separoh badan yang sebelah kanan sudah tidak bisa digerakkan sebagaimana biasanya. Sang dokter juga bilang bahwa Bapak harus diberikan asupan makanan via selang karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Sekujur tubuh saya terasa lemas setelah mendengar penjelasan dari dokter tersebut. Saya pandangi wajah Bapak yang terpejam dan hanya bisa berharap dan berdoa semoga Bapak bisa cepat pulih seperti sediakala.
Beberapa hari dalam perawatan, namun kondisi kesehatan Bapak belum juga mengalami perkembangan yang cukup berarti. Bahkan seminggu kemudian; yakni malam selasa, tanggal dua puluh Juni, menjelang tengah malam Bapak sempat mengalami sesak nafas. Saya sungguh tidak kuasa melihat kondisinya saat itu. Seandainya bisa, ingin rasanya saya menggantikan penderitaan serta rasa sakit yang dialami Bapak saat itu. Saya meminta bantuan kepada dokter jaga untuk memberikan pertolongan, oleh dokter meminta persetujuan dari kami untuk memasang alat lagi untuk membantu pernafasan bapak. Karena tidak tega melihat kondisi Bapak yang demikian, akhirnya saya putuskan keluar ruangan untuk mengambil air wudlu dan sholat serta memanjatkan doa agar Allah memberikan maghfirohNya serta memberikan yang terbaik untuk bapak tercinta. Dan alhamdulillah, setelah beberapa saat kemudian nafas bapak kembali normal dan kami semua yang mendampinginya saat itu merasa lega.
Setelah malam harinya sempat mengalami sesak nafas, alhamdulillah keesokan harinya bapak bisa membuka mata serta memberikan respon atas satu dua pertanyaan yang saya ajukan. Bahkan bapak juga sudah bisa mengangguk setelah seminggu lamanya dalam perawatan di rumah sakit hanya terpejam dan tidak berkata apa-apa. Kami semua sangat bersyukur atas kondisi kesehatan bapak yang mengalami perkembangan yang cukup berarti. Dan satu hari setelahnya, dokter menyatakan bahwa kondisi bapak semakin membaik dan sayapun lega sehingga malam hari pulang dan bermalam di rumah bersama putri mungil saya. Namun entah kenapa malam itu sering sekali saya terjaga dan ingat kondisi bapak.
Pagi-pagi saya datang ke rumah sakit lagi, tetapi mendapati ibu sedang menangis. Adik menghampiri saya dan menceritakan bahwa kondisi bapak mulai menurun setelah shubuh, ya ALLAH kuatkan hamba (doa saya dalam hati) meski tidak menangis tapi air mata ini mengalir tanpa henti melihat kondisi bapak saat itu yang semakin lemas, saya pun memegang tangan bapak dan berusaha untuk menuntun bapak dengan mengucapkan kalimah thoyyibah di telinganya. Sementara tim medis bolak balik dari kamar bapak dan mengambil alat-alat persiapan dan meminta persetujuan dari kami untuk mempergunakan alat pacu jantung. Mereka bilang ketika alat itu di gunakan akan terasa sakit pada bapak. Astaghfirullah... belum cukup kah alat-alat yang menempel di tubuh bapak selama 8 hari? Saya dan adik menyetujui, dan selalu berharap yang terbaik untuk bapak kami. Nafas bapak mulai halus, dan ketika bapak seperti batuk dan mengangkat kepalanya, tangan kanan saya menopang kepala bapak. Dan siapa sangka ketika kepala bapak kembali ke tangan saya, dokter menyatakan bapak telah tiada...
inna lillahi wa inna ilaihi rojiun......
Dada ini serasa sesak, ingin sekali menjerit...
Sesaat saya merasa sulit untuk menerima kenyataan, kenapa secepat ini bapak pergi meninggalkan kami. Saya merasa bahwa selama ini belum bisa menjadi anak yang berarti dan sama sekali belum bisa membalas kebaikan dan ketulusannya. Saya merasa belum mampu untuk membahagiakan bapak, belum bisa membuat bapak bangga.
Namun sejenak kemudian saya pun tersadar, bahwa kita semua ini hanyalah titipan belaka dan bila sudah saatnya kita kembali maka tak seorang pun dan hal apapun yang dapat menundanya meski hanya satu detik. Akhirnya dengan sisa-sisa tenaga yang ada, saya mencoba untuk menguatkan hati dan mencium wajah bapak sambil lirih berkata : Selamat jalan bapak, semoga Allah mengampuni segala dosa dan menerima semua kebaikan bapak serta menempatkanmu di jannahNya.
Doa kami akan terus mengalir, terimakasih atas semua perjuangan dan pengorbananmu kepada kami anak-anakmu...
Read more ...